Oleh: Dr. (c) M. SUNANDAR YUWONO, S.H., M.H. – Praktisi Hukum, Aktivis TIPIKOR & Hukum Publik (Bang Sunan)
tangerangjasa.com | Jakarta — Perkembangan teknologi digital yang sangat cepat telah membawa dampak besar bagi cara masyarakat berkomunikasi, bertransaksi, dan beraktivitas di ruang siber. Namun, di balik perkembangan tersebut, muncul kekhawatiran serius mengenai tren kriminalisasi melalui penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dr. (c) M. Sunandar Yuwono, S.H., M.H., praktisi hukum dan aktivis TIPIKOR yang akrab disapa Bang Sunan, menilai bahwa perubahan dalam UU ITE terbaru perlu dievaluasi secara komprehensif agar tidak menimbulkan penyalahgunaan wewenang serta tidak merusak prinsip dasar hukum pidana, yaitu asas legalitas.
“Dalam banyak kasus, ruang siber justru menjadi tempat masyarakat terjebak kriminalisasi karena pasal yang multitafsir. Kita harus membaca ulang asas legalitas sebagai benteng agar hukum tidak menjadi alat penekan,” tegas Bang Sunan.
Pasal Multitafsir dan Ketidakpastian Hukum
Bang Sunan menyoroti bahwa beberapa pasal dalam UU ITE yang sudah direvisi masih menyisakan ketidakpastian hukum, terutama pasal terkait:
Pencemaran nama baik,
Penyebaran informasi yang dianggap meresahkan,
Konten yang dinilai merugikan pihak tertentu,
Serta perbedaan penafsiran terhadap ujaran kebencian.
Ketidakjelasan penafsiran sering kali membuka celah bagi pihak tertentu untuk menggunakan UU ITE sebagai instrumen menekan lawan bisnis, lawan politik, atau bahkan masyarakat biasa yang sekadar menyampaikan pendapat.
“Di era digital, satu komentar bisa berujung laporan polisi. Padahal, tidak semua konten layak dipidana. Di sinilah pentingnya asas legalitas: ‘nullum crimen sine lege’ — tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa aturan yang jelas,” jelasnya.
Kriminalisasi: Dari Kritik Menjadi Kasus Pidana
Fenomena yang paling mengemuka adalah transformasi kritik menjadi delik pidana. Ruang siber yang seharusnya menjadi ruang dialog publik kini berubah menjadi area yang penuh ancaman pidana.
Bang Sunan menilai bahwa UU ITE sering kali disalahgunakan untuk menutup kritik:
“Ketika masyarakat tidak dapat membedakan mana kritik, mana fitnah, dan mana ekspresi digital, maka UU ITE menjadi senjata yang sangat berbahaya. Banyak kasus menunjukan bahwa korban justru mereka yang berniat baik,” tambahnya.
Asas Legalitas: Pilar yang Mulai Tergerus?
Menurut Bang Sunan, asas legalitas adalah prinsip fundamental dalam negara hukum. Aturan pidana harus:
1. Jelas (lex certa)
2. Tidak berlaku surut (lex praevia)
3. Tertulis (lex scripta)
4. Ketat dan tidak multitafsir (lex stricta)
Namun di ruang siber, keempat unsur itu kerap terabaikan.
“Ketika pasal multitafsir dibiarkan hidup, asas legalitas kehilangan makna. Apalagi jika aparat penegak hukum menafsirkan aturan berdasarkan sentimen, bukan norma hukum,” ujar Bang Sunan.
Rekomendasi Bang Sunan: Pembacaan Ulang UU ITE Secara Kritis
Sebagai aktivis hukum publik dan TIPIKOR, Bang Sunan memberikan sejumlah rekomendasi strategis:
1. Perbaikan definisi dan rumusan pasal
Agar tidak menjerat ekspresi yang dilindungi konstitusi.
2. Pendekatan restorative justice diperluas
Agar tidak semua perkara siber langsung bermuara ke pidana.
3. Edukasi digital bagi masyarakat
Untuk memahami batasan hukum ketika berpendapat di ruang siber.
4. Penguatan kompetensi aparat penegak hukum
Agar tidak salah menafsirkan pasal ITE dan tetap mengacu pada asas legalitas.
5. Pengawasan publik terhadap penggunaan UU ITE
Agar mencegah pola kriminalisasi yang merugikan masyarakat kecil.
Menutup Ruang Kriminalisasi, Menguatkan Ruang Demokrasi
Bang Sunan menegaskan bahwa tujuan UU ITE seharusnya adalah memberi kepastian hukum, bukan menakut-nakuti masyarakat.
“Jika ruang siber dipenuhi ketakutan, maka demokrasi digital tidak akan tumbuh. Kita harus memastikan bahwa aturan pidana tidak digunakan untuk membungkam, tetapi untuk melindungi,” pungkasnya.
Melalui pembacaan ulang asas legalitas dalam UU ITE terbaru, Indonesia diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara perlindungan hukum, kebebasan berekspresi, dan perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Ini menjadi pengingat bahwa di era digital, hukum harus hadir dengan kejelasan, keadilan, dan keberanian dalam menjaga hak-hak warga negara.pungkasnya
(*/Rif)
Tidak ada komentar